Jumat, 17 Oktober 2008

Peran Serta Perempuan Dalam Bidang Politik

Aroma pertarungan perpolitikan di Indonesia sudah merebak kemana-mana. Para pengamat dan pelaku politik mulai gencar memberikan analisanya. Perbincangan mengenai para kandidat pemangku jabatan pemerintahan mulai terdengar dan menggema hingga pelosok tanah Air. Bahkan dari kalangan masyarakat pedesaan sekalipun, kini sudah menjadi bahan gosip yang menghangatkan. Ramai memberikan penilaian terhadap para calon pemimpin mereka kelak. Fenomena masyarakat yang apatis dan apriori memang sudah dirasakan sejak beberapa bulan yang lalu. Hal itu terlihat dari Hasil penghitungan suara pada Pemilihan Gubernur di Jawa Timur beberapa waktu lalu yang golput cukup tinggi, mencapai separo dari jumlah penduduk. Masyarakat sudah mulai kehilangan trust terhadap pemerintah. Sehingga membuat mereka malas untuk turut serta memberikan suara yang merupakan hak politik mereka. Seribu janji yang ditebarkan oleh para calon penguasa pemerintahan nampaknya tidak lagi membuat mereka tergoda.

Beberapa hari yang lalu UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai Politik dan UU No. 10 No. 2008 mengenai Pemilu baru saja di sosialisasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang bekerja sama dengan Badan Pemberdayaan MAsyarakat Jawa Timur dengan judul kegiatan "Capacity Building bagi Lembaga Masyarakat melalui Sosialisasi Paket UU Politik dalam rangka Penguatan Jariangan Kelembagaan PUG dan PUA" pada tanggal 15 Oktober 2008 di hotel Inna Simpang. Kegiatan ini dihadiri oleh mayoritas perempuan, karena dimaksudkan untuk memberikan wacana dan wawasan perpolitikan kepada perempuan. Perhatian khusus dalam bidang politik terhadap kaum perempuan, sebenarnya tidaklah berlebihan. Mengingat di jaman sekarang ini perempuan sudah mulai berlomba-lomba untuk turut serta berperan di ranah politik. Berbagai hambatan dan kendala yang dihadapi perempuan untuk terjun di dunia politk, sepertinya memang akan menghambat ruang gerak perempuan itu sendiri untuk mengekspresikan hak politiknya.
Dari Jaman dahulu hingga sekarang kendala yang sangat dirasakan perempuan sebenarnya adalah adanya budaya patriarki yang masih mengakar di masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika perempuan yang tergolong awam akan hal-hal yang berbau politik juga menuai konflik dan pertentangan dari kaum adam. Lihat saja sejarah disahkannya UU No. 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu, tentang adanya kuota 30% perempuan yang harus dipenuhi partai politk peserta pemilu 2009 mendatang. Hal ini ditentang besar-besaran oleh kaum adam yang telah puluhan tahun merasa berjuang di dalam partai. Sehingga jika partai politik yang tidak bisa memenuhi kuota 30% tersebut pun juga tidak dikenai sanksi, melainkan pengembalian berkas untuk direvisi kembali. Namun, apa yang terjadi? Toh mereka (PArtai politik) tetap tidak bisa memenuhi persyaratan tersebut. Alasan mereka tidak dapat memenuhi kuota tersebut adalah karena tidak menemukan perempuan yang benar-benar potensial yang layak untuk diajukan di dalam kancah pertarungan perpolitikan.
Sebenarnya di pikir secara rasional pun, alasan tersebut tidak bisa diterima. Karena untuk saat sekarang ini tentu akan kesulitan menemukan perempuan yang mumpuni di bidang politik karena memang mereka belum pernah bersentuhan sama sekali dengan hal-hal politik. Bagaimana bisa menemukan perempuan yang layak dan potensial, jika hak perempuan untuk berpolitik aja tidak diberikan ruang untuk berekspresi. Kalaupun ada, itupun dalam jumlah yang masih sangat sedikit. Sehingga untuk perempuan memang perlu perhatian khusus, supaya mereka juga dapat menyuarakan kebutuhan dan apa yang mereka rasakan selama ini terhadap sistem pemerintahan Negeri tercinta kita ini, Indonesia.

Tidak ada komentar: