Jumat, 19 Desember 2008

Menuju Tahun 2009, Menuju Pemilu 2009

Bulan Desember 2008 sudah memasuki pertengahan. Tahun 2009 sebentar lagi tiba. Inilah saat yang dinanti-nanti oleh para calon legislatif. Pertarungan politik yang sebenarnya akan segera dimulai. Ya, Pemilihan Umum 2009 akan diselenggarakan di bulan April. Kampanye calon legislatif mulai yang model debat caleg, sampai iklan kampanye partai yang baru mulai bermunculan di media massa maupun elektronik. Kini, apakah yang sudah dipersiapkan oleh para caleg tersebut untuk memenangkan pertarungan tersebut? Apalagi dengan adanya Undang-undang Pemilu yang baru saja disahkan mengenai tata cara memilih calon wakil rakyat di kertas suara yang berganti dengan menandai atau memberi tanda centang, sepertinya akan menuai permasalahan baru.

Pasalnya jika sosialisasi tidak dilakukan dengan benar dan tidak menyentuh sampai ke daerah terpencil, dikhawatirkan akan banyak terjadi kekeliruan sehingga banyak suara yang tidak sah. Ini persoalan serius yang harus ditangani dan dihadapi oleh KPU selaku penyelenggara PEMILU mendatang. Sudah sejauh manakah KPU memikirkan hal teknis tersebut, namun bisa berakibat fatal apabila mereka tidak benar-benar menanganinya?
Terlepas dari persoalan teknis PEMILU, pada harian SURYA yang terbit hari Minggu, 14 Desember 2008 kemarin, Ibu Eva K Sundari, selaku anggota Komisi III DPR RI ini menyatakan kekhawatirannya mengenai kuota 30 persen perempuan yang bakal tidak bisa terpenuhi. Harapannya yang sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tersebut terancam gagal dipenuhi, sehingga kaum perempuan akan kesulitan untuk mendapatkan akses politik. Akibatnya kaum perempuan pun akan semakin kesulitan di dalam keterlibatannya memperjuangkan kebijakan yang pro terhadap perempuan. Beliau juga mengungkapkan permasalahan tentang banyaknya parpol yang memberlakukan sistem suara terbanyak, seperti partai Golkar dan Partai Amanat Nasional. Menurut Beliau, sistem tersebut akan merusak karena menurutnya sistem itu hanya mengakomodasi caleg yang memiliki uang. Sementara sebagian besar perempuan hidup di bawah garis kemiskinan. Kalau menggunakan nomor urut, masih bisa tercapai kuota 30 persen. Padahal, dalam UU mengharuskan parpol menggunakan nomor urut.

Tidak ada komentar: